Baca Artikel

Ritual Unik Seni Budaya Karangasem Nyepeg Sampi dan Jaran Gading Menginjak Bara Api

Oleh : | 27 Juli 2015 | Dibaca : 5120 Pengunjung

Ribuan pelaku seni di Karangasem tepatnya 1.440 orang kembali dalam ajang tahunan mendapat kesempatan unjuk gigi tampil didepan ribuan publiknya sendiri. Tampilan kali ini dibalut dalam bentuk Pawai Budaya memperingati Hari Jadi Kota Amlapura ke-375, bertempat di Jalan Veteran depan Stadion Amlapura, belum lama ini. Berbagai potensi budaya ditampilkan oleh masing-masing peserta dari delapan kecamatan dan sanggar/kelompok seni yang ada di Kabupaten Karangasem dalam dan luar Kabupaten Karangasem.
 
Konten budaya yang ditampilkan bervariatif, unik, nyaris punah dan hasil pengembangan inovasi. Lebih spesifik seni yang ditampilkan ada yang profan, sakral yang terkait dengan aktivitas upacara religi, modern, kontemporer, dan lintas agama yang menampilkan seni Barongsai (Budha) dan Rudat (Islam). Keseluruhan tampilan pawai budaya sangat menarik penuh pesona.
 
Jaran Gading Menginjak-nginjak Bara Api
 
Mengerikan Tari Sanghyang Jaran Gading dari Kecamatan Selat yang ditarikan oleh 2 orang laki-laki dewasa. Penari tersebut tanpa menggenakan baju hanya berbusana kain hitam mesitsit ginting (ujung kain terbalut kebelakang) dan saput poleng. Sembari menaiki kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah daun enau dihiasi daun-daunan dan diiringi nyanyian suci, mereka dalam keadaan trance tanpa alas kaki berjingkrak-jingkrak menginjak-ngijak bara api serabut kelapa.
 
Selat selain menampilkan Tari Sanghyang Jaran Gading juga Tradisi Siat Pering. Kedua budaya tersebut merupakan tradisi yang berkembang di Subak Auman Tempek Susut dan Desa Pakraman Muncan, Kecamatan Selat.
 
Sanghyang Jaran Gading sebagai tradisi masyarakat agraris merupakan persembahan kepada Dewi Sri dilaksanakan melalui Upacara Aci Bhatara Sri pada  Purnamaning Sasih Kedasa pada saat bulir padi mulai menguning menjelang panen. Dengan mempersembahkan Tarian Sanghyang Jaran Gading, masyarakat mengekspresikan rasa syukur atas berkat kesejahteraan dan harapan akan panen berlimpah.
 
Sementara Siat Pering dilaksanakan dalam rangkaian Usaba Pura Dalem di Desa Pakraman Muncan, sebagai simbolisasi penetralisir unsur-unsur negatif di wilayah desa pakraman. Siat Pering yang dipergakan oleh sepuluh orang laki-laki, Siat yang istilah nasional disebut dengan perang itu   dilaksanakan sehari sebelum pelakasanaan Nyepi Desa. Warga desa yang laki-laki dewasa melakoni perang-perangan dengan menggunakan sarana bambu bercabang dan berdaun di Catus Pata Desa Pakraman Muncan.
 
Nyepeg Sampi
 
Desa Adat Asak tergolong salahsatu desa kuna yang ada di Kabupaten Karangasem, tepatnya di Desa Dinas Pertima, Kecamatan Karangasem, lokasinya sekitar 4 km dari Kota Amlapura ke arah barat menuju jalan ke Denpasar. Sebagai sebuah sosok desa kuna tentu syarat akan aktivitas ritual agama dan tradisi budayanya yang unik. Salahsatu ritual Desa Asak diantaranyaUsaba Kasa/Sumbu dan Pecaruan Agung Kaulu yang tampilkan dalam Pawai Budaya kali ini. Tentu rangkaian prosesi tersebut hanya peragaan dengan sarana bukan aslinya. Rangkaian ritual ini pernah penulis langsung  liput tiga tahun lalu. Apanya yang unik dari ritual usaba tersebut.
 
Nyepeg Sampi(pembunuhan/tebas sapi) namanya, salah satu rangkaian kegiatan Usaba Kaulu yang tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (pecaruan) untuk menetralisisr alam wilayah desa dari gangguan mahkluk jahat. Ritual tersebut rutin digelar setiap sasih kaulu (sekitar bulan Januari/Pebruari) Pada Pecaruan Agung ini menggunakan seekor sapi pejantan yang besar dan tidak boleh cacat sedikit pun.     
 
Pada puncak acara,  pagi-pagi buta sapi dimandikan ke Pura Beji Yeh Inem, dan dihiasi memakai kain putih-kuning, selanjutnya sapi diarak keliling wilayah desa diiringi gamelan Baleganjur diikuti  oleh seluruh Sinoman Daha dan Sinoman Teruna, Pemangku Kahyangan Tiga, Prajuru Desa dan Pecalang.
 
Sesampainya didepan pintu masuk Pura Patokan Teruna, sapi tersebut diupacarai dengan Banten Pamendak, kemudian masuk ke Pura Patokan Teruna bersama seluruh Sinoman Daha, Teruna dan para Pemangku. Dan selanjutnya setelah sampai di Depan Pura Patokan Teruna, sapi tersebut diupacarai dengan Banten Cecaron. Sapi tersebut diarak mengelilingi Pura Patokan sebanyak tiga kali kemudian tiga kali mengelilingi Pura Patokan Teruna. Saat itulah Saye Teruna yang paling kelih (tua) menebas satu kali sapi tersebut dengan pisau adat teruna yang namanya Mingetin Sapi (menandai).
 
Ritual aslinya seperti pernah penulis liput dengan narasumber I Wayan Nesa (57 tahun) tokoh adat Desa Asak, yang bergelar Jero Menange. Setelah upacara di Pura Patokan Teruna, barulah memasuki detik-detik menegangkan penyepegan sampi segera akan dimulai. Krama Desa Adat Asak tumpah ruah di jalan akan menyaksikan dan menunggu sapi ke luar dari Pura patokan Teruna. Harap-harap cemas sapi yang dilepas lari ke jalan dikhawatirkan menabrak rumah dan kerumunan warga di jalan raya.
 
Begitu sapi dilepas dari talinya oleh para teruna,sapi keluar dari pintu Pura Patokan Teruna langsung lari keluar, melihat sapi telah keluar dari balai banjar, krama spontan berhamburan minggir ke pinggir jalan, dan saat itu pula langsung dikejar sambil bersorak-sorai kegirangan oleh ratusan teruna yang hanya mengenakan pakaian dan destar saja tanpa mengenakan baju sembari membawablakasuntuk disepeg serta diikuti oleh krama desa lainnya.
 
Sembari berlari mengejar sapi, beberapa meternya tubuh sapi sudah dapat disepeg beramai-ramai oleh teruna, darah merah segar sapi pun muncrat, bahkan muncrat darahnya mengenai tubuh teruna. Sapi akhirnya tumbang menghembuskan napas terakhir dan tergeletak di jalan raya.Disitulah darah tercecer diwilayah Desa Adat sebagai pertanda Pecaruan Agung telah digelar dan dipercaya dimana tempat sapi mati akan membawa berkah/kesuburan tersendiri diwilayah itu. Kemudian sapi tersebut dicabik-cabik organ tubuhnya. Pertama kepala sapi dipotong langsung dibawa ke banjar. Organ tubuh sapi lainnya menyusul dibawa ke balai banjar untuk dibuatkan bayang-bayang sesuai bentuk posisinya seperti  seekor sapi untuk diolah dijadikan bahan caru, dan sisanya diolah untuk dimakan megibung (makan bersama) bersama: teruna-daha, pecalang dan krama saing (krama desa).
 
Sebagai rangkaian Usaba Kaulu, juga ditampilkan Peedan Gebogan buah dan jajan. Tari Pendet, Tari Rejang, dan Tari Abuang Teruna dan Abuang Krama Sinoman. Payas Perong dan Payas Pusung Tekek.
 
Songket dan Endek Sidemen
 
Peserta dari Kecamatan Sidemen menampilkan budaya khasnya kain songket dan endek khas Bali yang sentranya kerajinannya terbesar di Bali adalah Kecamatan Sidemen. Diperagakan oleh beberapa pasang remaja putri. Salahsatu tarian yang nyaris punah di Kecamatan Sidemen ditampilkan dalam pawai ini, namanya Tari Nyeraman. Juga tampil dalam bentuk fragmen tari dengan kisah cerita sejarah kerajaan “Singarsa Kanti” dengan dalang I Wayan Keneng Eka Putra.
 
Rudat Harmonisasi Hindu dan Islam
 
Dari lintas agama/budaya muslim ikut berpartisipasi menampilkan seni Rudat dari Saren Jawa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem. Satu-satunya kelompok seni Rudat yang ada di Karangasem.
 
Seni Rudat adalah salah satu jenis kesenian yang didalamnya terdapat tari tarian dengan iringan terbangan. Jenis tarian dalam seni Rudat mengandung gerakan-gerakan bela diri dan seni suara. Kata Rudat bersal dari bahasa Arab yaitu rudatun yang berarti “taman bunga”. Personifikasi ini akhirnya memberi makna pada kata rudat dalam bentuk kesenian berarti “bunganya puncak”. Dalam hal ini, gerakan-gerakan silat yang ditampilkan lewat tarian Rudat di konotasikan pada sifat umum bunga yakni indah. Seni Rudat tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Oleh karena itu,kesenian ini sangat terpengaruh oleh budaya pesantren, diantaranya kebiasaan alunkan puji-pujian yang ditujukan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Dalam seni Rudat kebiasaan para santri tersebut dipadukan dengan kesenian yang didukung oleh masyarakat sekitar yakni kesenian Sunda. Dengan demikian, Seni Rudat merupakan jenis kesenian yang mengandung berbagai unsur, yaitu dakwah agama Islam dan hiburan berupa kesenian tradisional seperti pencak silat.Perwujudan kerukunan umat beragama Hindu dan Islam di Desa Budakeling melalui Rudat dapat dilihat dari harmonisasi kesenian yang ditampilkan dalam acara ritual Hindu seperti ketika upacara Palebon/Pitra Yadnya.
 
Gerakan tarian Rudat bertumpu pada gerakan kaki, seperti melangkah dengan serempak ke depan, belakang dan samping. Seni Rudat ditarikan oleh para wanita dan pria masing-masing memakai busana yang sama menurut kelompok jenis kelaminnya. Busana yang dikenakan oleh penari pria terdiri atas celana pangsi hitam, baju berwarna putih, kopiah dan kain samping pendek dari bahan batik. Busana yang dikenakan oleh penari wanita terdiri atas celana pangsi hitam, baju putih, selendang, kain samping pendek dari batik dan tutup kepala.
 
Jumlah pemain Seni Rudat berkisar antara 12 sampai 24 orang, diantaranya sebagai penabuh, waditra, penari dan penyanyi. Waditra terdiri atas ketimpring, tojo, nganak, gendrung dan jidor. Masing-masing waditradimainkan oleh seorang penabuh. Bahan pembuatan waditra dari kayu dan kulit kerbau. Ketimpring, bentuknya bulat dengan diameter muka 36 cm dan diameter belakang 26 cm, tinggi 18 cm dan ketebalan kayu 1 cm. Cara memainkan alat-alat ini sebagian besar dengan cara dipukul.
 
Tarian Barongsai
 
Dari lintas agama/budaya lainnya adalah Barongsai dari Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Bagi masyarakat Karangasem tari Barongsai ini sangat jarang dilihat langsung di depan publik. Tampilnya tarian khas Cina ini mendapat aplausdecak kagum dari penonton yang memadati Jalan Veteran depan Stadion Amlapura, termasuk para pejabat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Karangasem yang duduk di depan panggung kehormatan. Gerakannya yang dinamis, atraktif dan akrobatik, diperankan oleh beberapa anak muda itu melompat, berdiri dan berguling kesana-sini diiringi musik menambah semangat para penari.
 
Menurut pengurus Barongsai Blahbatuh, tarian Barongsai yang ditampilkan terdiri dari dua jenis tarian utama, yaitu tarian Singa Utara dan Selatan. Tarian Singa Utara memiliki surai ikal dan berkaki empat, serta mempunyai penampilan yang lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan. Sedangkan Singa Selatan memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Singa Selatan juga memiliki kepala yang dilengkapi dengan tanduk sehingga kadang kala mirip dengan binatang “kilin”.
 
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalannya yang terbilang keras dan melonjak-lonjak. Sedangkan gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki. Untuk menarikan barongsai Utara diperlukan penari barongsai yang profesional, karena tarian singa ini bisa dibuat melompat, berdiri dan berguling.
 
Selain tarian barongsai juga tampil liong Barongsai ini berbentuk seperti naga dengan badannya yang panjang dan bersisik seperti ikan. Barongsai jenis ini dimainkan oleh banyak orang, bila kita menontonnya dari atas maka akan terlihat seperti naga terbang yang berliuk-liuk diatas langit.
 
Cengceng Gebyag
 
Potensi budaya lainnya dari beberapa kecamatan dan kelompok seni menyuguhkan seni budaya yang terbaik. Salahsatu seni inovatif terbaru ciptaan seniman Karangasem, Ceng-ceng Gebyag persembahan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Karangasem. Menurut Kabid Seni Budaya Disbudpar, Ni Made Suradyani, S.Sos, Ceng-ceng Gebyag perpaduan kombinasi 100 personil yang memainkan berbagai jenis gamelan meliputi cengceng, sungu, preret, tambur, kempul dengan dominasi pitung dasa (70) buah suara ceng-ceng. Hentakan suaranya sangat dinamis, kreatif dan atraktif saling bersahut-sahutan. Para pelakunya laki-laki tanpa mengenakan baju hanya destar dan kain merah terbalut saput merah. Seni ini tersirat memaknai keperkasan berpadu kelembutan.
 
Rejang Kalimayah dan Rejang Jempong
 
Rejang Kalimayah, Rejang Jempong, Gamelan Gambang dan Fragmen Tari dipersembahkan oleh Kecamatan Bebandem dengan kekuatan peserta terbanyak mencapai 200 orang.
 
Rejang Jempong hampir sama dengan rejang-rejang lainnya yang ada di Bali. Yang membedakan hanyalah hiasan kepala yang menyerupai mahkota. Hiasan kepalanya sangat unik, dibentuk dari bermacam-macam dedaunan dan bunga yang tumbuh di hutan. Rejang yang ditarikan oleh remaja putrid ini sebagai tari wali biasanya dibawakan pada piodalan di Pura Panti Puseh Yeh Kori Desa Adat Sibetan bertepatan dengan Purnamaning Sasih Kapitu. Sedangkan Rejang Kalimayah biasanya ditarikan pada upacara-upacara besar di Pura Pasar Agung Desa Adat Sibetan. Tata busananya sangat sederhana, hanya menggunakan kain berwarna putih dan kuning dan penarinya membawa dupa.
 
Fragmen Tari dari Kecamatan Bebandem mengetengahkan judul Tulang Gadang mengisahkan misteri beberapa kali seorang penari rejang yang hilang pada setiap prosesi upacara dewa yadnya (piodalan) di Pura Puseh Panti Abian Tihing, yang rutin diselenggarakan pada hari Buda Kliwon Pahang. Kejadian tersebut menimbulkan rasa ketakutan bagi masyarakat khususnya bagi anak-anak remaja putri yang mendapat tugas sebagai penari Rejang. Hilangnya penari Rejang yang berada di barisan paling belakang bagai ditelan bumi, tidak ada seorangpun yang tahu, kemana hilangnya penari-penari tersebut dan siapa pelakunya. Diselidiki dengan berbagai upaya dilakukan oleh warganya, akhirnya misteri itu terungkap, bahwa yang mencuri penari rejang adalah raksasa besar yang tinggal di gua. Hal tersebut diketahui, karena dimulut gua ada berserakan tulang-tulang belulang yang sudah ditumbuhi jamur sehingga berwana hijau ke biru-biruan sehingga disebut dengan nama Tulang Gadang (tulang warna hijau). Akhirnya masyarakat membakar mulut gua, dan raksasa meraung kesakitan dan mati.
 
Pemimpin dalam Ritual Hindu
 
Kecamatan Rendang yang ada di wilayah serambi depan Pura Besakih menampilkan ritual kegamaan upacara Ulu. Ritual tersebut rangkaian upacara besar keagamaan yang ada di Desa Pakraman Pejeng Desa Menanga, Kecamatan Rendang dilaksanakan setiap tahun sekali.
 
Sarana Ulu berasal dari kepala babi yang diartikan kewibawaan. Pemundut Ulu menggunakan topi kuskusan berbentuk segitiga yang mempunyai makna: pemikiran seorang pemimpin betul-betul lurus dan ke depan, pembicaraannya bisa di terima masyarakat, perbuatan dan pelaksanaannya hendaknya sesuai dengan peraturan. Kepala babi tersebut di hiasi dengan bunga pucuk merah dan bunga mitir. Bunga mitir berwarna kuning yang artinya keagungan, dan keemasan. Bunga Pucuk simbul karisma seorang pemucuk (pimpinan). Lidah babi dihiasi andong bang (merah) artinya pimpinan harus memilki ketegasan dan keberanian. Jenggot berasal dari daun pisang yang mencerminkan kesederhanaan. Baju pemundut terbuat dari kaping. Kaping adalah simbul dari penyelesaian sebuah upacara yadnya apapun.
 
Makna dari upacara Ulu adalah seorang pemimpin harus berpikir cerdas, bersih, bertanggung jawab, sebagai pelindung, pengayom dan tegas dalam mengambil sikap terhadap masyarakat yang mengganggu atau merintangi jalannya pemerintahan yang sudah disepakati oleh rakyat.
 
Kisah Petilasan Danghyang Dwijendra
 
Kisah Petilasan Danghyang Dwijendra di Pura Gerombong di Desa Pakraman Baturinggit wakil Kecamatan Kubu ditampilkan dalam bentuk fragmen tari dengan penata tari I Gede Tantra, S.Pd. dan penata tabuh I Gede Dangin. Kisah perjalananya saat Danghyang Dwijendra berkeliling menjelajahi tepi pantai Bali. Ketika perjalannya sampai di Bali utara, beliau sempat turun sejenak di Desa Baturinggit, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Agung dekat pantai. Di desa itulah  Danghyang Dwijendra meletakkan batu sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi sebagai cikal bakal gerombong.
 
Arak-arakan Api Obor
 
Ritual unik lainnya terjadi di Desa Manggis, Kecamatan Manggis yang dipergakan dalam bentuk fragmen. Diwajibkan setiap warga membawa bobok dari dayuh (daun kelapa kering) yang diikat, dibakar dan diarak dari jalan raya menuju kuburan, diiringi dengan buyian kentungan kulkul dari masing-masing banjar. Prosesi upacara tersebut dinamakan dengan Ngemu-mu, dilaksanakan pada upacara Usaba Kelod/Usaba Dalem. Tradisi ini dilakukan atas perintah penguasa raja agar desa menjadi aman dan sejahtera, karena di desa itu pernah terjadi musibah. Prosesi ini diiringi dengan tarian Bebarisan dan Rerejangan dengan iringan gambelan slonding.                         
 
Tari Baris Dadap
 
Tari sakral Baris Dadap ditampilkan oleh pengempon Pura Pemaksan Ngis, Banjar Kaang-Kaang, Desa Pekraman Culik, Desa Kertha Mandala, Kecamatan Abang. Tari Dapdap ini dibagi dalam tiga kelompok tarian. Tarian Lelancang yang ditarikan oleh lima orang pria sebagai utusan Panca Dewata, lengkap dengan astranya/senjatanya yang ampuh. Tari Baris Dadap dimainkan oleh enam orang laki-laki, satu orang pemeran Kresna sebagai penasehat, spirit, pendorong kepada Panca Pandawa. Darma, Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa dalam angeruat, memberantas momo angkara murka, kekuatan-kekuatan aura-aura negativ, yang mengganggu jasmasi rohani manusia dalam melakoni kehidupan di dunia.
 
Tari Baris Panah ditarikan oleh enam orang laki-laki, berperan sebagai wanita bermakna sekala-niskala. Wanita menyatakan kesetiaannya terhadap prianya, sehidup semati dalam melakoni kehidupan di dunia. Wanita sebagai ibu pertiwi yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dari keluarga dan masyarakat. Menurut I Nyoman Mudiana warga Desa Culik yang juga staf Kantor Camat Abang, tarian ini sampai saat ini masih aktif dan disakralkan oleh warganya.
 
Busana Khas Busana Karangasem
 
Penggunaan busana adat Karangasem sangat beragam, artistik dan penuh simbol-simbol. Menurut Ni Made Suradnyani, S.Sos, koordinator peragaan busana, busana tersebut masih dapat terlihat pada acara-acara adat tertentu di Karangasem. Diperagakan oleh wadah alumnus Duta Wisata dan Budaya Semeton Jegeg Bagus Karangasem. Busana tersebut meliputi Payas Agung Karangasem, busana sehari-hari digunakan oleh warga Puri Agung Karangasem. Payas Madya, digunakan untuk acara semi formal seperti menyambut tamu-tamu raja, dan paruman raja. Payas Pusung Leklek Karangasem, merupakan payasan sehari-hari Puri Karangasem dengan ciri khas pusungan leklek dengan hiasan beberapa bunga cempaka serta gegempolan, sedangkan busana prianya menyesuaikan dengan menggunakan baju beludru dan udeng songket. Busana Payas Tenganan Pegringsingan dengan ciri khas tenun double ikat. Payas Daha dan Taruna Tenganan Pegeringsingan, Kecamatan Manggis mempunyai pakem sangat unik dan khas. Selain menggunakan kain geringsing, para Daha Taruna juga diwajibkan menggunakan kain rembang dan bebali yang memiliki motif celagi manis, cemplong, cempaka, dan hiasan lainnya. Busana Daha Taruna Asak, Kecamatan. Karangasem menggunakan songket khas pakem riasan kepalanya yang unik.
 
Pawai kali ini turut berpartisipasi Drumband Cilik SDN 1 Karangasem, SDN 5 Subagan dan peragaan busana endek untuk pakaian dinas kantor.
 
Salah seorang penonton warga Jalan Ngurah Rai Amlapura, I Wayan Suartawa, Sos, mengatakan menyambut baik pelaksanaan pawai budaya ini yang diprakarsai pemerintah, disamping sebagai wadah pelestari seni budaya, juga media informasi budaya yang ada di Karangasem. Diharapkan Suartawa, tahun-tahun mendatang even-even ini lebih banyak digelar sehingga seniman lebih banyak dapat berkreasi. (Komang Pasek Antara)



Artikel Lainnya :

Lihat Arsip Artikel Lainnya :

 



Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Karangasem


Artha Negara, S.STP., MAP
NIP. 19820722 200012 1 001
Waktu Pelayanan
Hari Senin-Kamis: Jam 07.30-15.00 wita
Hari Jumat: Jam 7.30-13.00 wita
Kritik Saran
Polling
Bagaimana Penilaian Anda Terhadap Website Diskominfo?
Statistik

Total Hits : 2271847

Pengunjung Online: 3