Oleh : karangasemkab | 06 Januari 2014 | Dibaca : 1825 Pengunjung
Antara pencemaran lingkungan dan upaya pelestarian alam yang diakibatkan oleh sampah-sampah dua sisi menarik untuk ditelusuri dan diketahui keberadaannya. Sebagain masyarakat banyak yang tidak mengetahui dikira sampah-sampah yang mereka buang begitu saja di tong sampah atau disembarang tempat tidak akan diapa-apakan atau dibuang begitu saja di suatu tempat, justru sebaliknya dapat diolah menjadi berkah.
Terkait dengan sampah, melongok di salahsatu desa di kabupaten ujung timur, Karangasem, Bali, tepatnya di Banjar Dinas Linggasana, Desa Bhuana Giri, Kecamatan Bebandem, ada pionir-pioner orang yang berjasa dalam pencegahan kerusakan lingkungan sekaligus menjadikan tumpuan hidup mengolah sampah menjadi berkah, meskipun dengan banyak risiko dan tantangan. Di tempat itulah sejak tahun 2002 lalu dijadikan areal tempat mengumpulkan sampah oganik dan anorganik dari limbah rumah tangga maupun industri atau yang disebut dengan TPA (Tempat Pemerosesan Akhir). Dulu tempat itu dikenal dengan nama TPA (Tempat Pembunagan Akhir). Digantinya Kata “pembuangan” menjadi “pemerosesan”, karena kata “pembuangan”. dalam konteks sampah berkonotasi tidak berguna dan dibuang begitu saja, sedangkan sebaliknya sampah-sampah yang dikumpulkan tersebut dipilah selanjutnya sampah organik diproses menjadi kompos sebagai penyubur tanaman. Sejatinya TPA telah berdiri tahun 2000, baru beroperasi tahun 2002.
Dari kota Amlapura menuju Banjar Dinas Linggasana berjarak 10 Km menuju arah jalan naik ke utara melewati Desa Padangkerta dan desa kawasan budaya Budakeling. Mulai memasuki wilayah ke dua desa itu, akan berpapasan dengan berjejer beriringan hampir ratusan perhari truk-truk pengangkut batu dan pasir, karena Banjar Dinas Butus, tetangga sebelah utara Banjar Dinas Linggasana adalah lokasi galian golongan C. Seluruh wilayah Desa Bhuana Giri termasuk di dalamnya Banjar Dinas Linggasana adalah aliran muntahan letusan lahar Gunung Agung tahun 1963 lalu.
Memasuki areal TPA Linggasana bertepatan dengan musim penghujan beberapa hari yang lalu, penulis disambut oleh tiga orang petugas teknis yang sehari-harinya bertugas di TPA, mereka Ni Wayan Nastri, S.Sos, I Komang Sukrena dan I Dewa Putu Yasa. Luas TPA 2.195 hektar terdiri dari 332 m2 diperuntukan tempat Instalasi Pengelolaan Limbah Tinja (IPLT) dan 1.687 m2 tempat TPA sampah. Meskipun gundukan sampah tampak basah sedikit busuk, tapi areal masih menyiiratkan kesan hijau dan asri dari rerumput dan pepohonan mengitari areal TPA. Tentu sangat terbalik apabila suasana iklim musim panas, udara cukup menyengat kulit, maklum arealnya dominan bebatuan lahar diantara semak-semak belukar penuh debu.
PENGOSEK
Meskipun saat itu siang pukul 11.00, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi TPA, masih tampak para pengosek tua-muda laki maupun perempuan masih mengerumuni onggokan sampah yang baru saja diturunkan truk-truk pengangkat sampah miliki Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Karangasem. Sebutan pengosek adalah istilah sebutan warga Banjar Linggasana, sebutan lain dari kata pemulung, karena dilakukan dengan cara mengorek-orek.
Meskipun wajah dan pakain kumal ciri mereka saat ngosek, tetapi mereka juga memiliki lubuk hati jujur, jujur akan eksistensinya sebagai kaum golongan miskin, mau dan berani berjuang demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup dirinya dan keluarga, dan bukan dengan sebagai pememinta-minta. Mereka para pengosek dengan berbekal sarana karung plastik dan kayu pengosek, berlomba-lomba sembari bergurau diantara para senasib mengais rejeki memilah dan memilih benda-benda yang tidak lagi berguna bagi pemiliknya, sebaliknya sangat berguna bagi para pengosek.
Menurut beberapa pengosek yang penulis temui diantara kesibukannya, mereka memilih benda-banda anorganik atau barang-barang rongsokan hasil industri seperti dari bahan plastik, kaleng, besi dan sejenisnya atau barang-barang rumah tangga. Sedangkan sampah organik yang dicari untuk makanan ternak babi diantaranya nasi, sayuran, daging/ikan, kue atau makanan lainnya. Sampah anorganik yang didapat mereka kumpulkan kemudian dijual kepada pegepul rongsokan yang didatangi secara berkala oleh pengepul. Sedangkan sampah organik ada yang dipakai sendiri untuk ternaknya, atau dijual kepada warga sekitarnya untuk makanan ternak.
Para pengosek sehari-harinya biasa mencapai 40 orang. Mereka mulai bekerja sejak pagi-pagi sampai matahari terbenam di ufuk barat, karena setiap truk pengangkut sampah mencapai dua kali angkutan pagi dan sore. Mereka telah membentuk organisasi perkumpulan yang diberi nama “Lingga Sari” diketuai I Ketut Nama dengan jumlah anggota 40 orang. Perkumpulannya bergerak dibidang usaha simpan-pinjam.
PROSES PENGOLAHAN SAMPAH
Sementara para pengosek asyik dengan aktivitasnya diantara onggokan sampah, penulis ditemani oleh petugas TPA serorang ibu paruh baya Ni Wayan Nastri, S.Sos, Kepala Seksi Pengelolaan Limbah Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Karangasem, bersama stafnya I Komang Sukrena dan I Dewa Putu Yasa mencoba melongok dari dekat di beberapa tempat disekitar areal TPA yang ada di sebelah selatan. Terdapat sebuah gedung berukuran 106,25 m2 tempat penyimpanan sampah plastik bekas pembungkus yang keliatan meluber keluar karena gedungnya telah penuh sampah plastik. Di sebelah selatannya bagian bawah, terlihat gedung berukuran 220 m2 tempat pengomposan, alat proses pengolahan sampah organik untuk menjadi pupuk kompos. Ni Wayan Nastri, ibu dari dua anak yang baru tahun 2012 lalu ditugaskan di TPA menjelaskan proses pengolahan dan pemilihan sampah. Sedangkan di bagian depan areal TPA terdapat beberapa kolam Naturasi dan pengeringan berbagai ukuran yang saat itu setiap kolam terlihat berisi air keruh rata-rata 50% karena air hujan. Menurut keterangan Wayan Nastri, berfungsi sebagai saluran rembesan air tinja yang ada di hulu bagian utara. Juga tampak di areal bawah di arah barat daya, disebelah selatan gundukan sampah dibuat kolam berbagai ukuran relative kecil dan besa dinamakan kolam Lindi, katanya Komang Sukrena berfungsi sebagai rembesan saluran air dari gundukan sampah.
Pemilihannya dibagi tiga. Terdiri dari barang lapak dijual seperti kardus, kertas, kaca, plastik, aneka logam dan sejenisnya, barang yang dianggap berbahaya diamankan, sedangkan sampah organik dijadikan bahan kompos. Kemudian langkah berikutnya meliputi proses: pencacahan, pencampuran dilanjutkan dengan pemupukan di atas terowongan bamboo dan disiram dengan air secukupnya memerlukan waktu 1-2 hari. Langkah berikutnya kata Wayan Nastri, pemantauan suhu membutuhkan waktu 2-4 hari. Kemudian selama memakan waktu sekitar 1 bulan adalah perlakuan berdasarkan keadaan suhu dan keadaan air. Selanjutnya pematangan kompos diperlukan waktu 14 hari, pengayakan dan pengepakan 1-2 hari. Terakhir adalah pemasaran. Menurut Wayan Nastri hasil kompos dari TPA belum dijual ke masyarakat. “Banyak dari instansi pemerintah dan sekolah di Karangasem memanfaatkan kompos produk TPA Linggasana untuk menyubur tanaman termasuk tanaman yang dikelola DKP,” ujar Wayan Nastri. Dari psoses pengolahan sampah telah meghasilkan kompos sekitar 3,6 ton setiap bulan.
MENGOLAH SAMPAH MENJADI MINYAK
Menurut keterangan I Komang Sukrena, volume sampah yang masuk ke TPA pertahun 2012 lalu mencapai 40.601 m3, berarti rata-rata perbulan 3.338,42 m3. Lanjut Sukrena, jumlah truk pengangkut sampah di TPA perhari rata-rata 18 truk. Tentang sumber daya manusia, di TPA Linggasana sehari-harinya bertugas 18 orang dengan berbagai tugas dari administrasi sampai teknis. Bahkan menurut I Dewa Putu Yasa, beberapa petugas setiap hari masuk tanpa hari libur, kecuali hari Nyepi. Guna meminimalisasi bau sampah dan lalat yang dapat mengganggu lingkungan, digunakan sisten control landfill, yaitu penutupan sampah dengan tanah urug secara berkala dan penyemprotan cairan EM4.
Kepala DKP Kabupaten Karangasem, I Made Suama, SH, MSi, mengatakan di ruang kerjanya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengurangi pencemaran limbah plastik, Kebijakan Pemkab Karangasem melalui DKP, jenis plastik pembungkus yang dikumpulkan oleh masyarakat akan dibeli oleh Pemkab Karangasem melalui subsidi 1 kg seharga Rp 2000, kemudian dijual kepada pemulung seharga Rp 400. Bukti kepedulian masyarakat terhadap bahaya sampah plastik di Karangasem, ada organisasi adat di Banjar Purwayu, Kecamatan Abang, Karangasem, tepatnya di kaki Pura Bukit Lempuyang, masalah sampah masuk dalam awig-awig yang menghendaki setiap sangkepan wajib membawa sampah plastik.
Menurut Suama, berbagai upaya telah dilakukannya mengurangi dampak polusi sampah menjadikan berkah melalui program penagkapan gas metan yang dihasilkan oleh sampah menjadi bio gas. Tahun 2014 ini pihaknya, memprogramkan pengelolaan sampah plastik yang mengandung bahan almunium voil menghasilkan minyak setara dengan minyak solar, dibawah satu tingkat dari solar atau satu tingkat dari minyak tanah.
MENEMUKAN EMAS DAN TUSUK PAKU
Selain pengelolaan teknis sampah TPA, ada sisi lain yang sangat menarik untuk ditelusuri. Mereka para wanita Ni Wayan Merta (40), Ni Luh Tama (70) adalah pionir-pionir pengosek yang tidak boleh termarginalkan, dia sejak ada TPA turut andil membantu mencegah kerusakan lingkungan. Diantara mereka adalah sosok laki-laki I Nengah Merta 40 tahun. Berbincang-bincang dengan penulis di sela-sela kesibukannya. Dia adalah salah seorang dari puluhan pengosek di TPA Linggasana, sejak pagi sampai matahari membenamkan matanya di ufuk barat mengais rejeki mencari sesuap nasi diantara gundukan bau amis berbagai jenis kotoran sampah. Hujan dan terik panasnya alam Linggasana tak menyurutkan perjuangan Mertha, mereka berpacu mengadu nasib. Mertha melakoni profesi pengosek sejak lima tahun lalu bersama putri semata wayangnya Ni Wayan Susanti yang kini masih duduk dibangku kelas I SMK Pariwisata di salah satu sekolah swasta di Karangasem. Sejak ditinggal istri karena cerai beberapa tahun lalu, Mertha harus kerja keras mempertahankan hidup untuk makan dan meyekolahkan anak sampai tamat. Pulang sekolah Susanti ikut berbaur dengan wanita pengosek-pengosek lainnya. Menurut ceritera Mertha, dulu semasih dirinya muda sekitar tahun 1990-an, dia adalah seorang pekerja keras, pernah bekerja diperusahaan pengiriman sapi sampai ke ibu kota Jakarta. “Sekarang tidak ada pekerjaan lain yang saya bisa kerjakan karena tidak ada sawah-ladang yang dikerjakan,” katanya Mertha pasrah. Rata-rata perhari dari hasil ngosek Mertha hanya mendapatkan penghasilan 20 ribu rupiah dari jualan rongsokan dan sisa-sisa makanan ternak. Suka-duka menjadi pengosek di gundukan sampah, Mertha pernah mendapatkan uang 100 ribu rupiah di dalam amplop dan emas 3,5 gram. Dukanya sudah menjadi risiko bagi Mertha dkk pengosek lainnya.
Dia pernah kakinya tertusuk paku dan katik sate meskipun pakai sepatu. “Tiang sempat dua bulan istirahat sakit tidak bekerja,” katanya Mertha sembari mengisap rokoknya dalam-dalam mengenang nasibnya. Bagi Mertha dkk adalah dengan kesederhanaannya pengabdi untuk lingkungan. Dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Karangasem, akan diharapkan kebersihan, keasrian lingkungan alamnya menuai prestasi Adipura Kencana tahun 2014, dimana sebelumnya baru memperoleh Adipura enam kali berturut-turut tahun 2007-2012.
Putu Wijaya Sang Loper Koran Asal Karangasem Sukses Di Rantau
1729Unik, Nyepi di Bali Bersamaan dengan Gerhana Matahari
4062MAKNA NGELINGGIHANG DEWA HYANG
4065Ritual Unik di Desa Adat Asak Karangasem - Nyepeg Sampi Beramai-ramai untuk Menetralisir Alam
1723MENYONGSONG HADIRNYA SEORANG “NEGARAWAN”
Total Hits : 2325577
Pengunjung Online: 3